KORAN JAYA @ JAKARTA — Perkembangan kasus dugaan pembiusan dan kekerasan seksual yang melibatkan seorang calon dokter spesialis anestesi berinisial PAP terhadap FJ, seorang perempuan yang merupakan keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, terus menjadi sorotan masyarakat. Meski korban dan keluarga telah mencapai kesepakatan damai dengan terlapor, proses hukum terhadap PAP masih terus berlanjut.

Dalam keterangan kepada media, kuasa hukum FJ, Dr. Andry Christian, S.H., S.Kom., M.Th., C.Md., CLA, ASP., ASKC dari Kantor Hukum & Investigasi MAHANAIM Law Firm, menjelaskan bahwa proses perdamaian telah dilakukan secara resmi pada tanggal 23 Maret 2025, dengan disaksikan langsung oleh pihak keluarga korban.

“Kesepakatan perdamaian telah tercapai pada 23 Maret 2025 dan dituangkan dalam dokumen perjanjian damai yang ditandatangani kedua belah pihak, serta disaksikan oleh keluarga korban. Selain itu, korban juga telah mengajukan surat pencabutan laporan kepada pihak kepolisian,” ujar Dr. Andry.

Meskipun pencabutan laporan telah dilakukan, proses hukum tetap berlanjut. Padahal, menurut Dr. Andry, dalam ketentuan Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru (UU No. 1 Tahun 2023), delik aduan semestinya tidak dapat diproses lebih lanjut jika pengaduan telah dicabut.

“Ini sangat disayangkan. Seharusnya, pendekatan restorative justice bisa diberlakukan dalam kasus ini. Apalagi perdamaiannya bersifat sukarela, tanpa adanya paksaan, dan bertujuan untuk pemulihan kedua belah pihak,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah wujud hukum progresif yang menitikberatkan pada pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku dalam kerangka penyelesaian damai, bukan sekadar penghukuman.

“Restorative justice bukan berarti membebaskan pelaku dari tanggung jawab hukum, tetapi merupakan proses penyelesaian yang berfokus pada pemulihan kondisi korban, kesadaran pelaku, serta menjaga keseimbangan sosial. Terlebih, perdamaian ini lahir dari itikad baik kedua belah pihak,” tambah Dr. Andry.

Lebih lanjut, bersama rekan kuasa hukum lainnya yaitu ASORI MOHO, S.H. dan SITI HAGARIYAH, S.H menyoroti bahwa penegakan hukum yang terlalu formal dan kaku justru dapat memperpanjang penderitaan psikologis korban.

“Sistem hukum semestinya mampu memberikan ruang bagi suara korban untuk didengar dan dipertimbangkan. Jangan sampai niat tulus korban untuk menyelesaikan secara damai justru membuatnya kembali tertekan oleh proses hukum yang rigid. Hukum harus mampu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang substansial,” jelasnya.

Hingga saat ini, kasus yang menjerat PAP masih berada dalam tahap penyidikan di Polda Jawa Barat. Meski demikian, pihak kuasa hukum FJ tetap menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum, sembari berharap bahwa pertimbangan penerapan keadilan restoratif tetap dapat diakomodasi demi terciptanya keadilan yang lebih menyeluruh dan berimbang.